Minggu, 13 Desember 2009

Program Penanggulangan TBC


Penyakit Tuberculosis (TBC) merupakan penyakit yang mudah menular dimana dalam tahun-tahun terakhir memperlihatkan peningkatan dalam jumlah kasus baru maupun jumlah angka kematian yang disebabkan oleh TBC.

Pada tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TBC, karena di sebagian besar negara di dunia, penyakit TBC tidak terkendali. Hal ini disebabkan banyaknya penderita TBC yang tidak berhasil disembuhkan.

WHO melaporkan adanya 3 juta orang mati akibat TBC tiap tahun dan diperkirakan 5000 orang tiap harinya. Tiap tahun ada 9 juta penderita TBC baru dan 75% kasus kematian dan kesakitan di masyarakat diderita oleh orang-orang pada umur produktif dari 15 sampai 54 tahun. Dinegara-negara miskin kematian TBC merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Daerah Asia Tenggara menanggung bagian yang terberat dari beban TBC global yakni sekitar 38% dari kasus TBC dunia. Dengan munculnya HIV/AIDS di dunia, diperkirakan penderita TBC akan meningkat.

Di Indonesia hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1995 menunjukan bahwa penyakit TBC merupakan penyebab kematian nomor tiga (3) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok umur, dan nomor satu (1) dari golongan penyakit infeksi. WHO 1999 memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru dengan kematian sekitar 140.000.

Penyakit TBC tidak hanya merupakan persoalan individu tapi sudah merupakan persoalan masyarakat. Kesakitan dan kematian akibat TBC mempunyai konsekuensi yang signifikan terhadap permasalahan ekonomi baik individu, keluarga, masyarakat, perusahaan dan negara.

Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan melalui Program TBC Nasional, telah bekerjasama dengan Rumah Sakit (RS), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Dokter praktek pribadi, organisasi keagamaan dan ingin meningkatkan kerjasama dengan kelompok masyarakat pekerja dan pengusaha. Peningkatan perhatian dari pengusaha terhadap penyakit TBC di sektor dunia usaha sangat diperlukan. Guna mensukseskan aktivitas pengawasan TBC, pengobatan yang teratur sampai terjadi eliminasi TBC di tempat keja.

Setiap tempat kerja mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit TBC pada pekerjanya terutama pada blue collars (karena pendidikan rendah, higiene sanitasi perumahan pekerja, lingkungan sosial pekerja, higiene perusahaan). Pengusaha diharapkan ber partisipasi aktif terhadap penanggulangan TBC di tempat bekerja pada saat seleksi pekerja, higiene sanitasi di perusahaan, gotong royong perbaikan perumahan pekerja bekerjasama dengan puskesmas setempat.

Pengawasan TBC ditempat bekerja memberikan keuntungan yang nyata kepada perusahaan dan masyarakat. Pekerja yang menderita TBC selain akan menularkan ke teman sekerjanya juga akan mengakibatkan menurunnya produktifitas kerja, sehingga akan mengakibatkan hasil kerja menurun dan pada akhirnya mengakibatkan kerugian bagi perusahaan tempat penderita bekerja. Penemuan penderita baru dan pengobatan dini akan memberikan keuntungan bagi penderita, perusahaan dan program pemberantasan TBC Nasional.

Untuk menanggulangi masalah TBC di Indonesia, strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shourtcourse chemotherapy) yang direkomendasikan oleh WHO merupakan pendekatan yang paling tepat saat ini dan harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Pelaksanaan DOTS di klinik perusahaan merupakan peran aktif dan kemitraan yang baik dari pengusaha dan masyarakat pekerja untuk meningkatkan penanggulangan TBC di tempat kerja.

Dasar kebijakan program penanggulangan TBC di tempat kerja

1. Undang-undang no.23 tahun 1992, pasal 23 tentang Kesehatan Kerja
2. Kebijakan teknis program kesehatan kerja
3. Evaluasi program TBC yang dilaksanakan bersama oleh Indonesia dan WHO pada April 1994 (Indonesia –WHO joint evaluation on National TB Program)
4. Lokakarya Nasional Program P2TB pada September 1994
5. Dokumen Perencanaan (Plan of action) pada bulan September 1994
6. Rekomendasi “Komite Nasional Penanggulangan Tuberkulosis” 24 Maret 1999

Visi
Tuberkulosis tidak lagi menjadi masalah kesehatan di tempat kerja

Misi

1. Menetapkan kebijakan, memberikan panduan serta membuat evaluasi secara tepat, benar dan lengkap
2. Menciptakan iklim kemitraan dan transparansi pada upaya penanggulangan penyakit TBC di tempat kerja.
3. Mempermudah akses pelayanan penderita TBC untuk mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan standar mutu

TUJUAN
Secara umum kegiatan penanggulangan TBC ini diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit TBC pada pekerja untuk mencapai peningkatan kemampuan hidup sehat agar tercapai produktivitas yang optimal.

Dan hasil yang diharapkan dari pelaksanaan kegiatan tersebut secara khusus adalah :

* Tercapainya angka kesembuhan minimal 85% dari semua penderita baru BTA positip yang ditemukan ditempat kerja.
* Tercapainya cakupan penemuan penderita baru secara bertahap sehingga pada tahun 2005 dapat mencapai 70% dari perkiraan semua penderita baru BTA positip.
* Tercapainya pelayanan kesehatan yang paripurna, terjangkau, adil & merata mencakup 80%

Strategi Penanggulangan TBC di tempat kerja sesuai dengan Strategi Nasional

Paradigma Sehat

1. Meningkatkan penyuluhan untuk menemukan penderita TB sedini mungkin, serta meningkatkan cakupan Promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan perilaku hidup sehat
2. Perbaikan perumahan serta peningkatan status gizi, pada kondisi tertentu

Strategi DOTS, sesuai rekomendasi WHO

1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan (tripartite), termasuk dukungan dana.
2. Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik
3. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
4. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TBC

Peningkatan mutu pelayanan

1. Pelatihan seluruh tenaga pelaksana
2. Mengembangkan materi pendidikan kesehatan tentang pengendalian TBC mengunakan media yang cocok untuk tempat kerja
3. Ketepatan diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik
4. Kualitas laboratorium diawasi melalui pemeriksaan uji silang (cross check)
5. Untuk menjaga kualitas pemeriksaan laboratorium, dibentuk KPP (Kelompok Puskesmas Pelaksana) terdiri dari 1 (satu) PRM (Puskesmas Rujukan Mikroskopik) dan beberapa PS (Puskesmas Satelit). Untuk daerah dengan geografis sulit dapat dibentuk PPM (Puskesmas Pelaksana mandiri).
6. Ketersediaan OAT bagi semua penderita TBC yang ditemukan
7. Pengawasan kualitas OAT dilaksanakan secara berkala dan terus menerus.
8. Keteraturan menelan obat sehari-hari diawasi oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
9. Pencatatan pelaporan dilaksanakan dengan teratur lengkap dan benar.
10. Pengembangan program dilakukan secara bertahap
11. Advokasi sosialisasi kepada para pimpinan perusahaan , organisasi pekerja mengenai dasar pemikiran dan kebutuhan untuk TBC kontrol yang efektif, mencakup kontribusinya dalam pengendalian TBC di tempat kerja.
12. Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program meliputi : perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta mengupayakan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).
13. Membuat peta TBC sehingga ada daerah-daerah yang perlu di monitor penanggulangan bagi para pekerja.
14. Memperhatikan komitmen internasional.

KEGIATAN
Kegiatan penanggulangan TBC di tempat kesja meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Upaya Promotif
Peningkatan pengetahuan pekerja tentang penanggulangan TBC di tempat kerja melalui pendidikan & pelatihan petugas pemberi pelayanan kesehatan di tempat kerja, penyuluhan, penyebarluasan informasi, peningkatan kebugaran jasmani, peningkatan kepuasan kerja, peningkatan gizi kerja

Upaya preventif
Adalah upaya untuk mencegah timbulnya penyakit atau kondisi yang memperberat penyakit TBC.

Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya yang dilaksanakan untuk mencegah timbulnya penyakit pada populasi yang sehat.

Pengendalian melalui perundang-undangan (legislative control)

* Undang-Undang No. 14 tahun 1969 Tentang ketentuan-ketentuan pokok tenaga kerja.
* Undang-Undang No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan kerja
* Undang-Undang No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan
* Peraturan Menteri Kesehatan tentang hygiene dan saniasi lingkungan

Pengendalian melalui administrasi/organisasi (administrative control)

* Pesyaratan penerimaan tenaga kerja
* Pencatatan pelaporan
* Monitoring dan evaluasi

Pengendalian secara teknis (engineering control), antara lain :

* Sistem ventilasi yang baik
* Pengendalian lingkungan keja

Pengendalian melalui jalur kesehatan (medical control), antara lain :

* Pendidikan kesehatan : kebersihan perorangan, gizi kerja, kebersihan lingkungan, cara minum obat dll.
* Pemeriksaan kesehatan awal, berkala & khusus (anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium rutin, tuberculin test)
* Peningkatan gizi pekerja
* Penelitian kesehatan

Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder adalan upaya untuk menemukan penyakit TBC sedini mungkin mencegah meluasnya penyakit, mengurangi bertambah beratnya penyakit, diantaranya :

* Pengawasan dan penyuluhan untuk mendorong pasien TBC bertahan pada pengobatan yang diberikan (tingkat kepatuhan) dilaksanakan oleh seorang “Pengawas Obat” atau juru TBC
* Pengamatan langsung mengenai perawatan pasien TBC di tempat kerja
* Case-finding secara aktif, mencakup identifikasi TBC pada orang yang dicurigai dan rujukan pemeriksaan dahak dengan mikroskopis secara berkala.
* Membuat “Peta TBC”, sehingga ada gambaran lokasi tempat kerja yang perlu prioritas penanggulangan TBC bagi pekerja
* Pengelolaan logistik

Upaya kuratif dan rehabilitatif
Adalah upaya pengobatan penyakit TBC yang bertujuan untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan.

Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis yang tepat selama 6-8 bulan dengan menggunakan OAT standar yang direkomendasikan oleh WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease). Pelaksanaan minum obat & kemajuan hasil pengobatan harus dipantau.

Agar terlaksananya program penanggulangan TBC ditempat kerja perlu adanya komitmen dari pimpinan perusahaan / tempat kerja dan kerjasama dengan semua pihak terkait untuk melaksanakan Program Penanggulangan TBC didukung dengan ketersediaan dana, sarana dan tenaga yang professional.

Keberhasilan pengobatan TBC tergantung dari kepatuhan penderita untuk minum OAT yang teratur. Dalam hal ini, PMO di tempat kerja akan sangat membantu kesuksesan Penanggulangan TBC di tempat kerja.

Sumber :
Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan RI, dalam :
http://astaqauliyah.com/2007/02/17/program-penanggulangan-tbc/
17 Februari 2009

Sumber Gambar:
http://web.rollins.edu/~jsiry/Map-Tuberculosis.gif

Tuberkulosis, Bukan Hanya Di Paru, Tetapi Di Payudara, Rahim dan Testispun Bisa


Penyakit tuberkulosis (TBC), yang kumannya pertama kali ditemukan oleh Robert Koch telah saya ketahui sejak tahun 50-an, ketika masa anak-anak dulu. Tetangga kami ada yang menderita TBC paru. Jadi sering mendengar tentang batuk darah, dst yang sangat menakutkan kala itu. Penderita akan meninggal secara pelan tapi pasti, karena keterbatasan obat yang ada.

Diakhir tahun 70-an, sebelum ditemukannya penyakit AIDS, kasus TBC paru pernah mereda sampai jumlah yang sangat minim di Indonesia.

Tetapi saat ini setelah merebaknya HIV-AIDS, penyakit TBC tidak berkurang, namun bertambah. Bertambah dalam jumlah pasien dan bertambah pula organ yang dapat terkena, tidak terbatas hanya pada paru-paru. Malahan dinegara maju seperti Eropa, Amerika dan Australiapun  kasus TBC dijumpai dengan insidensi yang meningkat, sejalan dengan peningkatan jumlah kasus HIV-AIDS. Kenapa begitu?

Tuberkulosis dimasukkan kedalam golongan infeksi opportunistic, yaitu infeksi yang akan muncul dan menjadi berat, jika tubuh seseorang dalam keadaan lemah atau pada saat daya tahan tubuh seseorang menurun atau menjadi lemah. Contoh : pada penderita HIV-AIDS, pada penerima cangkok organ karena resipient ini harus mendapat terapi steroid/immunosupressant yang bertujuan untuk menghindari/menekan reaksi penolakan terhadap organ yang baru dicangkokkan kedalam tubuh penerima tersebut. Kondisi tubuh yang lemah juga pada mereka yang menjalani khemoterapi , obat keras untuk pengobatan penyakit kanker yang sedang dideritanya.

Waktu kecil yang saya tahu hanyalah  TBC paru dan TBC yang mengelilingi pangkal leher bawah, sehingga membentuk mata kalung (beads), melingkari leher dan seringkali pecah mengeluarkan nanah yang sekarang saya tahu itu disebut scrofuloderma.Â

TBC adalah salah satu penyakit yang dapat menyebar luas, ke seluruh tubuh : paru, ginjal, hati, limpa, tulang belakang, bahkan ke otak, kulit, kelenjar getah bening, payudara, rahim, ovarium, testis, kandung kemih, urethra, dll. Jadi dimana-mana bisa terjadi infeksi TBC. Belakangan saya sering mendapat kasus TBC di payudara (mastitis TBC) dan di rahim (endometritis TBC).

Dokter klinisi tadinya berpikir bahwa kasus tersebut adalah tumor payudara atau tumor dan atau hiperplasia endometrium (penebalan lapisan dalam rongga rahim). Setelah dilihat dibawah mikroskop, ternyata  kedua kasus itu hanyalah peradangan oleh kuman tuberkulosis. Jadi terlebih lagi bagi kita dinegara sedang berkembang (Asia & Afrika), sebenarnya kita masih asyik berkutat menghadapi penyakit infeksi yang menjadi masalah primer dibidang kesehatan. Â

Bagi saya kejadian seperti ini surprise, karena jarang sekali ditemukan kasus TBC ditempat janggal dan tidak lumrah seperti payudara dan rahim. Sedangkan bagi pasien temuan adanya peradangan khronik-spesifik(TBC) adalah menguntungkan. Artinya dibandingkan dengan tumor/kanker, maka infeksi TBC jauh lebih mudah diobati dan disembuhkan dibandingkan penyakit kanker.

Kenapa bisa terjadi peradangan TBC ditempat yang tidak biasa tersebut? Jawabannya adalah lagi-lagi karena life style. Masyarakat  modern sekarang ini suka bereksperimen dalam segala hal, termasuk dalam bercinta, dll. Jadi terimalah risikonya…

Sumber :
Dr. Sukma Merati
http://www.sukmamerati.com/tuberkulosis-bukan-hanya-di-paru-di-rahim-dan-testispun-bisa
28 Juni 2009

Sumber Gambar:
http://sitemaker.umich.edu/medchem13/files/rccm_tuberculosis_body.gif

Waspadai Penyakit TBC - 1 Menit, 3 Nyawa Melayang

Insidensi Tuberculosis (TBC). Pasti Anda sudah tak asing lagi mendengar nama penyakit satu ini. Ya, penyakit ini hingga sekarang masih menjadi salah satu penyakit menular yang terbesar di negara berkembang, bahkan Indonesia menduduki peringkat ketiga yang penduduknya menderita penyakit tersebut.

Tak tanggung-tanggung, sudah banyak korban jiwa yang berjatuhan karena TBC. Data dari LSM Kesehatan di Sumut, dalam hitungan satu menit ada tiga korban jiwa meninggal di Indonesia. Artinya, dalam durasi satu jam ada sekitar 180 jiwa orang yang meninggal dunia akibat “serangan” penyakit ini. Itu baru satu jam, bisa dibayangkan berapa banyak pengidap penyakit ini yang meninggal dunia dalam setahun.

TBC timbul akibat adanya bakteri Mycobacterium tuberculosis. Ini adalah salah satu bakteri yang hidup dalam tubuh manusia. Bakteri ini menjadi jahat jika ia berada lingkungan yang tidak sehat dan tubuh yang kurang gizi ataupun karena asap. Tak hanya paru-paru, TBC juga menyerang kulit, kelenjar limfa, tulang, dan selaput otak.

Menurut dr Arlina, dokter yang konsen terhadap penyakit TBC mengatakan, TBC lebih banyak menyerang orang termarginal atau kaum papa. Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan tempat asal tempat tinggal mereka yang indentik dengan lingkungan tidak sehat atau jorok. Sehingga bakteri Mycobacterium tuberculosi yang ada di dalam tubuh semangkin mengganas sehingga menjadi jika tidak diatasi menjadi TBC.

”Apalagi bagi yang tidak memiliki daya tahan tubuh tinggi, memiliki kemungkinan yang cukup besar untuk terserang TBC. Karena itulah, mulai dari dini hendaknya kita mulai membiasakan hidup bersih dan makan-makanan yang sehat, sehingga kondisi daya tahan tubuh tetap terjaga,” ungkapnya menjelaskan.


Sebagai Aib

Pada zaman penjajahan dulu, kata dr Arlina, penyakit ini dianggap sebagai penyakit aib. Di mana si penderita dicap memiliki penyakit kutukan, sehingga harus diasingkan dari keluarga bahkan masyarakat. Namun seiring dengan perkembangan teknologi dengan penemuan obat-obatan terhadap penyakit menular salah satunya TBC, penyakit ini sudah hal biasa, penyakit yang dapat disembuhkan.

Hanya saja syaratnya, lanjut dr Arlina, penderita harus rajin minum obat yang diberikan dengan jangka waktu 6 bulan. Obat ini diberikan secara cuma-cuma atau gratis di masyarakat yang tidak mampu. Apabila penderita bandel, tak mau meminum obat dengan teratur, penyakit ini dapat menjadi ganas.

dr Arlina menambahkan, bahwa sebenarnya di setiap tubuh manusia sangat berpotensi terkena penyakit ini, hal ini disebabkan karena adanya bakteri mycobacterium tuberculosis yang ada dalam tubuh. Secara alamiah, bakteri ini tidak memiliki sikap jahat terhadap tubuh, sepanjang kita selalu untuk hidup sehat.”Dari hasil penelitian dibuktikan, yang paling tinggi mengakibatkan TBC adalah dari lingkungan yang tidak sehat, ditambah kurangnya asupan gizi yang baik,” ujar dr Arlina mengingatkan.

Selain selalu membiasakan diri dengan hidup sehat, cara pencegahan penyakit ini adalah dengan selalu dengan menutup hidung dengan masker, apabila kita sedang berbicara dengan pasien yang tekena. ”Penyakit ini cepat bereaksi dalam tubuh, baik itu melalui air liur ataupun percikan dahak. Karena itu, disarankan untuk memakai masker saat sedang berbicara dengan penderitanya,” saran dr Arlina.


Ciri-ciri Penderita TBC

Kuman TBC ini memiliki bentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan (basil tahan asam). Namun, kuman ini tidak akan tahan dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembek. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dorman selama beberapa tahun. Kuman dapat disebarkan dari penderita TB BTA positif kepada orang yang berada di sekitarnya, terutama yang kontak erat.

dr Arlina menjelsakan, seorang penderita TBC dapat menularkan penyakit pada 15 orang di sekitarnya. Tapi, orang yang terinfeksi M. tuberculosis tidak selalu menderita penyakit TBC. Dalam hal ini, imunitas tubuh sangat berperan untuk membatasi infeksi sehingga tidak bermanifestasi menjadi penyakit TBC.

Biasanya, penderita TBC akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti batuk berdahak kronis selama 3 minggu yang kemudian ditandai gejala tambahan seperti demam, berkeringat tanpa sebab di malam hari, sesak napas, nyeri dada, dan penurunan nafsu makan. Semuanya itu dapat menurunkan produktivitas penderita bahkan kematian.

”Gejala-gejala tersebut juga bisa dijumpai pada penyakit paru selain TBC. Oleh sebab itu orang yang datang dengan gejala di atas dianggap sebagai seorang ‘suspek tuberkulosis’ atau tersangka penderita TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya,” ujar dr Arlina.


Rentan dengan HIV/AIDS

Bagi penderita HIV/AIDS, memiliki peluang yang paling besar untuk terkena TBC. Sebab HIV adalah penyakit yang menyerang daya tahan tubuh. Ketika daya tahan tubuh lemah, maka kuman TBC yang sudah ada dalam tubuh dan tertidur selama ini, menjadi bangkit dan berkembang.

Selain itu, merokok juga memiliki pengaruh yang besar. Perokok lebih mudah terserang kuman tiga hingga empat kali dibandingkan yang bukan perokok. Di tubuh perokok, kuman TBC juga lebih mudah bangkit dan berkembang dua hingga tiga kali, dibandingkan dengan bukan perokok. Pada perokok, angka penyembuhannya juga berkurang. Karena itu, agar bisa sembuh maka perokok harus menghentikan kebiasaan merokoknya.

”Gangguan kesehatan yang dapat timbul karena menurunnya daya tahan tubuh sebenarnya dapat diminimalisasi dengan penerapan prinsip-prinsip hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari. Kuncinya itu adalah selalu menerapkan hidup sehat,” pungkas dr Arlina menutup pembicaraan.

Sumber :
Hotma Saragih
http://www.harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=25967:waspadai-penyakit-tbc-1-menit-3-nyawa-melayang&catid=58:hidup-sehat&Itemid=66
24 November 2009

TBC pada Anak-anak

Pertanyaan :

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Pertama sekali saya mengucapkan terima kasih atas kepedulian merci untuk membuka layanan konsultasi kesehatan. Saya punya masalah tentang kesehatan anak saya Dok. Anak saya berusia 3 thn. Sejak usia 8 bulan ia mengidap penyakit TBC kelenjar. Ini saya ketahui setelah saya memeriksakan kesehatannya ke dokter. Penyakit itu mempengaruhi pertumbuhan badannya hingga saat ini. Berat badannya terlalu memprihatinkan sekitar 10 Kg. Ia tidak mau makan nasi. Ia hanya makan-makanan jajanan dan meminum susu. Saya telah berupaya untuk memberi berbagai macam vitamin untuk membuat ia selera makan tapi hasilnya sama saja. ada beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan :

1. Apakah penyakit anak saya masih ada sehingga mempengaruhi pertumbuhan badannya
2. Apakah anak yang tidak mau makan makanan pokok seperti nasi akan mempengaruhi IQ nya.
3.Vitamin apa yang dapat membuat anak saya mau makan.

Atas penjelasan Dokter saya ucapkan banyak terima kasih.

-tomy-


Jawaban:

Wa'alaikum salam wr wb,

Pak Tomy yang berada di Batam, permasalahan yang Bapak hadapi adalah permasalahan yang cukup sering dihadapi orang tua yang mempunyai anak diatas umur 1 tahun.

Merupakan suatu masalah apabila anak yang semestinya sudah mengenal dan mencoba berbagai variasi makanan, ternyata hanya menyenangi jenis makanan tertentu dan berpengaruh kepada pertumbuhan fisik anak bahkan kadang perkembangannya

Berat badan anak Bapak yang berumur 3 tahun seharusnya sekitar 14 kg, bila sekarang hanya 10 kg berarti berat badan anak Bapak kurang kurang cukup banyak.

Memang di Indonesia penyakit TBC merupakan penyakit utama yang menjadi penyebab gangguan perkembangan anak yang mengakibatkan berat badannya kurang, tapi bila pada usia 8 bulan pernah didiagnosa dan mendapatkan adekuat baik dari segi dosis yang tepat, TBC kelenjar yang anak Bapak derita bisa sembuh total .

Namun tetap harus diwaspadai karena meski sudah sembuh TBC-nya bisa kambuh lagi. Kalau dulu yang dideritanya TBC kelenjar apakah pembengkakan kelenjar yang dulu terasa, masih ada atau terasa lagi atau tidak sekarang, masih ada keringat malam, batuk atau tidak dan harus dipastikan lagi dengan pemeriksaan foto rontgen, serta pemeriksaan laboratorium kimia darah lengkap, laju endap darah serta mantoux test bahkan kalau perlu bilas lambung untuk mengetahui ada tidaknya kuman TBC-nya.

Bila semua hasil pemeriksaan yang dilakukan hasilnya negatif , berarti anak Bapak sudah terbebas dari penyakit TBC dan penyebab berat badan anak Bapak yang kurang karena hal lain missal pada makanan yang kurang baik , faktor genetic yang kuat penyakit cacingan atau yang lainnya.

Hanya makanan pokok sebagai sumber karbohidrat yang dimakan oleh mayoritas penduduk Indonesia , bila anak Bapak masih mau makan makanan lain sebagai sumber karbohidrat atau produk olahan lain baik dari beras atau yang lainnya tidak jadi masalah

Kecerdasan intelengesi ( IQ ) faktor bawaan lebih dominan , sedangkan gizi dan pola asuh lebih menjadi pendukung .Bila anak Bapak tidak mau nasi, insya allah tidak menjadi masalah untuk IQ anak Bapak.

Sebagian orang tua , sering kali salah pengertian menganggap vitamin sebagai penambah nafsu makan . vitamin yang kita berikan merupakan suplemen atau penambah kekurangan yang tidak tercukupi dari makanan yang dikonsumsi tiap hari.
Tidak semua vitamin dapat disimpan di dalam tubuh , kecuali vitamin A,D,F,K yang dapat disimpan di dalam lemak, sedangkan vitamin lain seberapa besar vitamin yang diberikan akan diambil oleh tubuh sesuai dengan kebutuhannya dan sisanya akan dibuang .yang terbaik untuk meningkatkan nafsu makan anak Bapak adalah merubah pola makanannya.

Kesukaan jajan apalagi yang manis biasanya membuat anak jadi cepat kenyang dan tidak mau lagi bila disuruh untuk makan.jadi untuk Bapak sebaiknya menoba memberikan variasi makanan yang lebih beragam dan yang tidak kalah penting cara penyajiannya sehingga anak tertarik ,anak tidak lagi jajan di luar dan lebih suka mengkosumsikan makanan di rumah.

Demikian semoga paparan tidak bisa sedikit membantu untuk menyelesaikan permasalahan anak Bapak.

wassalaamu'alaikum,

(Dr. Iman Hilmansyah)

Sumber :
http://www.mer-c.org/penyakit-infeksi/180-tbc-pada-anak-anak.html
24 Juni 2008

Epidemiologi TBC di Indonesia

Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru. Perkiraan prevalensi, insidensi dan kematian akibat TBC dilakukan berdasarkan analisis dari semua data yang tersedia, seperti pelaporan kasus, prevalensi infeksi dan penyakit, lama waktu sakit, proporsi kasus BTA positif, jumlah pasien yang mendapat pengobatan dan yang tidak mendapat pengobatan, prevalensi dan insidens HIV, angka kematian dan demografi.

Saat ini Survei Prevalensi TBC yang didanai GFATM telah dilaksanakan oleh National Institute for Health Research & Development (NIHRD) bekerja sama dengan National Tuberculosis Program (NTP), dan sedang dalam proses penyelesaian. Survei ini mengumpulkan data dan dilakukan pemeriksaan dahak dari 20.000 rumah tangga di 30 propinsi. Studi ini akan memberikan data terbaru yang dapat digunakan untuk memperbarui estimasi insidensi dan prevalensi, sehingga diperoleh perkiraan yang lebih akurat mengenai masalah TBC.

Dari data tahun 1997-2004 [Attachment: Tabel Identifikasi Kasus 1997-2004 dan Tingkat Pelaporan 1995 - 2000] terlihat adanya peningkatan pelaporan kasus sejak tahun 1996. Yang paling dramatis terjadi pada tahun 2001, yaitu tingkat pelaporan kasus TBC meningkat dari 43 menjadi 81 per 100.000 penduduk, dan pelaporan kasus BTA positif meningkat dari 25 menjadi 42 per 100.000 penduduk. Sedangkan berdasarkan umur, terlihat angka insidensi TBC secara perlahan bergerak ke arah kelompok umur tua (dengan puncak pada 55-64 tahun), meskipun saat ini sebagian besar kasus masih terjadi pada kelompok umur 15-64 tahun. [Attachment : Age Specific Notification Rate 2004]

Kekebalan Obat Ganda (Multi Drug Resistance/MDR)

Meskipun saat ini data mengenai kekebalan obat ganda/MDR di Indonesia belum tersedia, namun telah disiapkan sebuah survei untuk dilaksanakan pada akhir tahun 2005. Data mengenai hal ini dianggap penting karena beberapa alasan:

Indonesia adalah negara high burden, dan sedang memperluas strategi DOTS dengan cepat, karenanya baseline drug susceptibility data (DST) akan menjadi alat pemantau dan indikator program yang amat penting.

Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi dan pengobatan TBC melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif, dan lebih banyak lagi untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas, maka banyak pasien yang didiagnosis oleh RS memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan, dan mungkin menimbulkan kekebalan obat. 

Karena belum adanya jaringan laboratorium nasional dengan standar dan kualitas yang memadai, generalisasi dan kualitas dari data yang tersedia tidak dapat ditentukan.

Sumber :

http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-tb-di-indonesia/article/55/000100150017/2


TBC, Bukan Bakteri Biasa


“Every Breath Counts, Stop TB Now”. Demikianlah tema besar dari peringatan Hari TBC Sedunia pada 24 Maret 2009 ini. Bila dihayati memang demikianlah adanya, nafas adalah yang menggerakkan kehidupan, jika terjadi gangguan pada nafas, niscaya irama kehidupan pun akan terganggu. Meski sebenarnya bakteri TBC juga bisa menyerang seluruh organ tubuh manusia seperti otak, tulang dan kelenjar, jadi bukan cuma organ paru-paru saja.


Bakteri yang Tangguh

Agak berbeda dengan bakteri penyebab penyakit lain, bakteri TBC memiliki dinding sel yang sebagian besar tersusun dari asam mikolik dengan cabang molekul lipid yang memberikan penghalang tak tembus di sekitar sel. Lipid inilah yang membuat bakteri lebih tahan terhadap asam dan gangguan fisika kimia. Selain itu pada kondisi tidur, bakteri TBC dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun dalam udara kering maupun dingin. Setelah bangkit dari keadaan tidur, bakteri dapat kembali aktif seperti sedia kala.

Pertumbuhan bakteri TBC berlangsung secara lambat, yakni setiap sekitar 15 sampai 20 jam, sementara bakteri pada umumnya mampu berkembang biak dalam hitungan menit, misalnya saja Escherichia coli yang mampu tumbuh setiap 20 menit. Bakteri yang sedang tidur dapat membelah jika diberi antibiotik, itu sebabnya obat TBC diberikan selama enam bulan terus menerus. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa semua bakteri TBC dalam tubuh baik yang aktif maupun tidur telah mati.

Bakteri TBC dapat menghasilkan enzim beta laktamase yang memberinya kekebalan terhadap antibiotik dari golongan beta laktam seperti penisilin dan sefalosporin. Namun demikian mekanisme kekebalan ini dapat diatasi dengan menambahkan penghambat enzim beta laktamase pada obat TBC.

Pada umumnya kekebalan disebabkan oleh penguraian obat anti-bakteri oleh enzim atau protein tertentu dari bakteri TBC. Proses ini berawal dari jumlah yang sedikit dan kemudian perlahan-lahan bertambah seiring waktu. Telah banyak kasus kekebalan bakteri terhadap berbagai obat anti TBC, termasuk florokuinolon yang pada awal penemuannya sangat diharapkan. Demikianlah, manusia telah sekian lama berperang melawan bakteri tangguh ini.


Perang Panjang Melawan TBC

Pemberantasan TBC telah melewati berbagai fase. Era kemoterapi dalam pemberantasan TBC dimulai sejak penemuan streptomisin pada 1944 oleh Albert Schatz dan Selman Waksman. Senyawa yang ditemukan kemudian antara lain, isoniazid pada 1952 dan rifampisin pada 1967. Antimikroba yang merusak sintesis protein bakteri seperti makrolida, aminoglikosida dan rifampisin; serta antimikroba yang dapat menghambat pelipatan DNA bakteri seperti kuinolon, dapat pula digunakan untuk melawan bakteri TBC.

Penemuan-penemuan senyawa anti TBC kemudian mengarah pada terapi kombinasi obat TBC yang digunakan sampai saat ini. Dengan adanya kombinasi obat, kemungkinan kekebalan dapat dikurangi. Jika obat seperti rifampisin atau pirazinamid digunakan secara tunggal, kekebalan bakteri TBC dapat muncul hanya dalam jangka waktu enam sampai delapan minggu.

Penanganan TBC masih terus menjadi tantangan besar untuk para tenaga kesehatan. Untuk memutuskan rantai penularan perlu pula mendapati perhatian lintas sektoral karena berkaitan dengan faktor sosial budaya dan tempat hunian. Namun pada dasarnya penyakit TBC bisa disembuhkan secara tuntas apabila pasien mengikuti anjuran tenaga kesehatan untuk minum obat secara teratur dan rutin sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Selain itu diperlukan juga kepedulian dan pengawasan dari tenaga kesehatan untuk mengawal perkembangan terapi pasien. Penyebab TBC memang bukan bakteri biasa, karena itu diperlukan konsistensi dan kepatuhan pasien dalam menjalani terapi untuk mencapai hasil terapi yang optimal.

http://en.wikipedia.org/wiki/Tuberculosis

Sumber :

Fajar Ramadhitya Putera

http://netsains.com/2009/04/tbc-bukan-bakteri-biasa/

12 April 2009



Sumber Gambar:
http://www.wadsworth.org/databank/hirez/mcdonp4.gif

Mengatasi TBC dengan Pengobatan yang Sesuai


Pengobatan TBC secara tepat, secara tidak langsung akan mencegah penyebaran penyakit ini. Beberapa obat yang biasanya digunakan, yakni :


Isoniazid (INH)

Obat yang bersifat bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri) ini merupakan prodrug yang perlu diaktifkan dengan enzim katalase untuk menimbulkan efek. Bekerja dengan menghambat pembentukan dinding sel mikrobakteri.


Rifampisin / Rifampin

Bersifat bakterisidal (membunuh bakteri) dan bekerja dengan mencegah transkripsi RNA dalam proses sintesis protein dinding sel bakteri.


Pirazinamid

Bersifat bakterisidal dan bekerja dengan menghambat pembentukan asam lemak yang diperlukan dalam pertumbuhan bakteri.


Streptomisin

Termasuk dalam golongan aminoglikosida dan dapat membunuh sel mikroba dengan cara menghambat sintesis protein.


Ethambutol

Bersifat bakteriostatik. Bekerja dengan mengganggu pembentukan dinding sel bakteri dengan meningkatkan permeabilitas dinding.

Dalam terapi TBC, biasanya dipilih pemberian dalam bentuk kombinasi dari 3-4 macam obat tersebut. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari terjadinya resistensi bakteri terhadap obat. Dosis yang diberikan berbeda untuk tiap penderita, bergantung tingkat keparahan infeksi. Karena bakteri tuberkulosa sangat lambat pertumbuhannya, maka penanganan TBC cukup lama, antara 6 hingga 12 bulan yaitu untuk membunuh seluruh bakteri secara tuntas.

Pengobatan harus dilakukan secara terus-menerus tanpa terputus, walaupun pasien telah merasa lebih baik / sehat. Pengobatan yang terhenti ditengah jalan dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten. Jika hal ini terjadi, maka TBC akan lebih sukar untuk disembuhkan dan perlu waktu yang lebih lama untuk ditangani. Untuk membantu memastikan penderita TBC meminum obat secara teratur dan benar, keterlibatan anggota keluarga atau petugas kesehatan diperlukan yaitu mengawasi dan jika perlu menyiapkan obat yang hendak dikonsumsi. Oleh karena itu, perlunya dukungan terutama dari keluarga penderita untuk menuntaskan pengobatan agar benar-benar tercapai kesembuhan.

Obat diminum pada waktu yang sama setiap harinya untuk memudahkan penderita dalam mengonsumsi obat. Lebih baik obat diminum saat perut kosong sekitar setengah jam sebelum makan atau menjelang tidur. [Cyn]

Sumber :

http://piogama.ugm.ac.id/index.php/2009/04/mengatasi-tbc-dengan-pengobatan-yang-sesuai/

25 April 2009



Sumber Gambar:
http://www3.niaid.nih.gov/NR/rdonlyres/2F9ECA9E-B9F9-4E93-947E-494E06764B88/0/simple2.jpg